Nabi SAW bersabda, “Kita telah kembali dari perang kecil (al-jihad al-asghar) menuju perang besar (al-jihad al-akbar)”. Ketika para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dengan perang besar itu?” Nabi menjawab, “Perjuangan melawan hawa nafsu!”


Perjalanan ruhani menggapai keredhaan Ilahi pada hakikatnya adalah pergulatan diri melawan hawa nafsu (Mujahadatun Nafsi). Manusia yang telah sukses menaklukan hawa nafsu primitifnya sendiri, dia akan mencapai musyahadah, tersibaknya tabir antara Khaliq dan makhluk-Nya sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya, “Barangsiapa yang berjuang demi Kami, Kami akan menunjuki mereka kepada jalan Kami.” (QS. AR-Rum: 69)


Selama ini ungkapan perang melawan hawa nafsu kerap berhenti sebatas jargon, tidak ada upaya sungguh-sungguh menempatkannya sebagai sebuah “proses menjadi”. Padahal kita maklum, mujahadatun nafsi menescayakan adanya disiplin yang tinggi dan latihan terus-menerus (riyadhah), sehingga pada gilirannya dari intensitas riyadhah inilah, kita akan mengenyahkan jiwa rendah yang merupakan potensi dasar dari segala bentuk kejahatan, anarkisme, dan prilaku-prilaku a-hu manis lainnya. Rasulullah SAW bersabda, “Sejahat-jahat musuhmu adalah jiwa rendahmu yang berada di dua sisimu.”

Mengobarkan perlawanan terhadap hawa nafsu tanpa riyadhah, sama saja artinya kita menanamkan asa ingin menjadi Jenderal Besar sementara sejarah keseharian kita masih setia berkutat mengayunkan cangkul nun jauh di pedesaan sana, bukan maqam semestinya: sebentuk mujahadatun nafsi yang setengah hati.


Selama kita masih tidak serius dalam menggempur hawa nafsu, maka peluang untuk bertindak destruktif, berbuat dosa aniaya, menimbulkan kekerasan dan menistakan kemanusiaan, kian terbuka. Dengan kata lain hawa nafsu sebagai kuda tunggangan setan akan leluasa mengobok-mengobok hati manusia, sebab sejatinya hawa nafsu (dan jiwa rendah) adalah representasi setan, seperti isyarat nabi, “Tidak ada seorang pun yang syaitannya (hawa nafsu) tidak takluk kecuali Umar, karena dia telah menaklukkan syaitannya.”

Melihat “kedalam” dampak lebih lanjut dari mujahadah nafsi yang setengah hati, apalagi tidak sama sekali, adalah kita akan sangat rentan dijangkiti dan mengikuti pikiran serta lintasan setan (was-was). Seperti diungkap teorinya Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya-nya bab ‘Ajaib al-Qalb, pikiran yang menggerakkan keinginan untuk kemudian ditransformasikan menjadi tindakkan (‘amal) itu tidak terlepas dari dua hal.

  • Pertama, pikiran yang menarik kepada kejahatan yang disebut was-was tadi, dimana sebab dan sumbernya adalah syaitan.

  • Kedua, pikiran yang mengajak kepada kebajikan yang disebut ilham, dimana sumber dan muaranya adalah malak.

Baik malak sebagai simbol dari suatu makhluk yang dijadikan Allah untuk bertugas melimpahkan kebaikan, mentransfer ilmu; menguak kebenaran, dan menjanjikan kebenaran, dan menjanjikan kebaikan serta amar ma’ruf, maupun setan sebagai simbol makhluk yang kelakuannya terbalikan dari tugas-tugas malak tadi, kedua-duanya sama-sama mewariskan saham kedalam jiwa seseorang.

Saham dari malak lewat ilham dikatakan taufiq, sementara syaitan menanamkan jasa via was-was berupa ighwa (penyesatan) dan khidzlan (penghentian pertolongan). Dalam kontek ini pula Nabi bersabda, “Bahwa dalam jiwa ada dua langkah: Pertama, Langkah dari malaikat yang berupa, menjanjikan kebaikan dan membenarkan yang hak. Maka barangsiapa yang menemukan sifat-sifat demikian hendaklah ia tahu bahwa itu dari Allah yang Maha Suci dan hendaklah ia memanjatkan puji kepada-Nya; Kedua, langkah dari syaitan yang berupa, ajakan kejahatan, memanipulasi kebenaran dan melarang berbuat baik. Barangsiapa yang mendapatkan hal demikian, hendaklah memohon perlindungan Allah dari syaitan yang terkutuk. Kemudian Baginda membaca firman Allah, “Syaitan itu mengancam kamu sekalian dengan kemelaratan dan menyuruh kamu berbuat jahat.”

Dari sini kian tampak jelas, hawa nafsu (dan syahwat) itu merupakan senjata syaitan, maka untuk menumpulkan senjata tersebut tidak ada jalan lain kecuali dengan kita mengobarkan mujahatun nafsi lewat disiplin dan latihan yang ketat (riyadhah), konsistensi (istiqamah), dan sikap yang bulat (kiffah) dalam menjalankan titah Tuhan (QS. Bani Isra’il: 63; Al-An’am: 153) samapai batas tidak ada ruang lagi bagi syaitan untuk menanamkan harta bendanya yang berupa hawa nafsu.

Diriwayatkan dari sufi terkemuka Jabir Ibnu Ubaidillah, ia berkata, “Saya pernah mengeluh kepada al-A’la ibn Jiyad tentang was-was yang bersemayam dalam dada saya, maka beliau berkata bahwa hal itu laksana sebuah rumah yang dilalui oleh beberapa pencuri kalau didalam rumah itu ada sesuatu (harta), maka mereka (pencuri-pencuri) itu berusaha keras mengambilnya. Dan apabila di dalam rumah itu tidak ada apa-apanya, maka rumah itu akan mereka lalui dan mereka tinggalkan. Begitupun tamsil diri yang bersih dari hawa nafsu itu tidak akan digerayangi oleh syaitan karena, lanjut al-A’la, Allah SWT. berfirman, sesungguhnya hamba-hamba-Ku itu tidak ada kekuasaan bagimu (syaitan) atas mereka.” (QS. Bani israil: 65)

Kesimpulannya, memerangi hawa nafsu ini merupakan suatu keharusan, sebab sekali lengah, setengah hati, dan apalagi abai, maka isyarat hawa nafsu akan keluar sebagai pemenang, mendominasi, dan mengendalikan kita; larut dalam konsentrasi dunia kefanaan dan melemparkan jauh-jauh nilai-nilai ukhrawi.

Apalagi kita maklum, syaitan sangat cerdas dan licik dan menggunakan tektik-tektik dalam memainkan “kurnianya” iaitu hawa nafsu, syahwat, jiwa rendah manusia, agar manusia terbuai serta larut dalam irama permainannya, sebagaimana tekad mereka yang terekam dalam QS. Al-A’raf: 16-17, “Sungguh akan kutahan untuk manusia itu jalan-Mu yang benar, kemudian kuserang mereka dari depan, belakang, kanan dan kiri mereka.”

“Sesungguhnya syaitan itu musuh kamu sekalian, maka anggaplah itu sebagai lawan, hanya syaitan itu akan memanggil teman-temannya agar mereka menemaninya menjadi penghuni neraka sa’ir” (QS. Fathir: 6)

Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya syaitan itu menghalang manusia melalui berbagai jalan. Mula-mula ia menghalang dengan jalan Islam. Berkata syaitan, “Apakah engkau akan masuk islam, sedangkan agama keturunanmu dan agama nenek moyangmu akan kau campakkan begitu saja?’ Manusia itu tidak menghiraukannya dan terus saja masuk Islam. Lalu syaitan menghalang lagi melalui pintu hijrah, katanya, ‘Apakah engkau akan berhijrah? Relakah kamu meninggalkan sawah@tanah ladangmu?’ Manusia itu tidak juga menghirauinya dan dia pun berhijrah. Si syaitan menahan lagi melalui pintu jihad, ujarnya berkali-kali; ujarnya lagi, ‘Akan berjuangkah engkau?’ Padahal itu akan mengancam keselamatan jiwa dan akan mengurangi harta bendamu, engkau akan berjihad dan kemudian engkau terbunuh.., isteri-isterimu akan dikahwini orang dan harta bendamu dibahagi-bahagikan.’ Maka manusia itu tidak mau mematuhi pujukan dan rayuan@tipu daya syaitan itu dan dia pun berjihad....”

Hasilnya, apabila dalam kehidupan ini kita kalah melawan pesona membius godaan hawa nafsu, yang ditenggarai dengan menurutkan hawa nafsu, maka sejatinya kita adalah hamba hawa nafsu tersebut, bukan hamba ALLAH dan kerana itu ALLAH menguasakan syaitan atasnya. “Adakah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai tuhannya.” (QS. Al-Jatsiyah: 23). “Dia yang telah menurutkan hawa nafsunya adalah laksana seekor anjing. Kalau engkau bebani anjing itu ia akan menjulurkan lidahnya atau kau biarkan (tidak kau bebani) iapun akan menjulurkan lidahnya.” (QS. Al-A’raf: 174)

Namun sebaliknya, manakala hawa nafsu lunglai oleh kegigihan mujahadah kita, maka kita adalah pejuang sejati yang keluar sebagai pemenang dalam pertempuran kolosal (al-jihad al-akbar). Kita pun layak menobatkan diri sebagai hamba ALLAH dengan segala piala, penghargaan, fasilitas hakiki yang akan dihibahkan oleh-Nya baik “disini” sekarang, ataupun “disana” kelak dialam keabadian (QS. An-Naji’at: 40-41).

Wallahu A’lam.
..

0 comments:

Selamat Berkenalan

ALLAH Matlamat Utamaku

~ حيّ على الصلاة ~

Jom Solat..

Followers

Perkongsian


Islamic Hijri Calendar

Waktu Al-Quds

Sa'atul Misr

K.L time

TERNAKAN KITA..